Tanpa Banyak Kata, Dia Mencintaiku
Aku mengenalnya sebagai seorang laki-laki pendiam, paling tidak untuk kami keluarganya. Dia berbicara seperlunya. Tapi setiap kali dia bicara, nada yang tegas selalu keluar dari mulutnya.
Seluruh kehidupannya ia abdikan di dunia pendidikan. Senin hingga jumat, seragam safari lengkap dengan sepatu hitam mengkilat menemani perjalanannya. Seorang lelaki pendiam yang begitu menyenangkan jika berada diantara teman-temannya. Kehadirannya selalu menghadirkan tawa.
Seorang lelaki perkasa yang sedikitpun tak pernah memperlihatkan sisi lemahnya di depanku. Bahkan mungkin sering kali terlalu perkasa, hingga badanku pernah lebam oleh tangannya. Tapi itulah caranya untuk menunjukanku bagaimana lelaki itu seharusnya.
“Cah lanang kuwe kudu sregep. Kudu cemekel. Kudu bisa diandelna.” (Anak laki-laki itu harus rajin, harus bisa semuanya. Harus bisa diandalkan)
Lelaki itu kukenal sebagai Bapak. Lelaki yang bisa diandalkan keluarga untuk situasi apapun juga. Dia adalah lelaki paling tertib, teratur, dan bersih yang pernah kukenal. Mata dan tangannya selalu risih jika melihat segala sesuatu yang tidak pada tempatnya. Dia begitu mencintai keindahan dan kerapian. Sisi lemahku yang sering menjadi penyulut kemarahannya.
Pernah suatu waktu aku mendengarnya bicara dengan Mamah.
“Pak, apa Brili memang harus di sekolahkan di Purwokerto? Biaya masuknya mahal Pak.. Belum nanti biaya kos dan lainnya..Tabungan kita sudah habis kemarin untuk biaya persalinan dan syukurannya Zulham”
Kau tahu apa jawabnya? Dengan tatapan dingin dan tanpa senyum menghiasai wajahnya ia berkata.
“Mah, apapun akan kulakukan untuk pendidikannya. Yang terbaik. Meski itu harus berhutang atau menjual motor satu-satunya.”
Bapak tak pernah berkata banyak, tapi apa yang dilakukannya selalu berarti banyak. Untuk membayar uang sumbangan sekolahku, ia pernah merelakan liburan saat lebarannya untuk menjadi supir carteran rombongan yang mau berwisata ke pantai. Dia meminjam mobil pakde ku, lalu dia keliling ke perempatan-perempatan menawari rombongan keluarga yang terlihat menunggu kendaraan untuk berwisata ke pantai.
Selain itu, Aku tak pernah tahu perihal apa yang membuatnya begitu kuat menghadapi terjal dunia. Kokoh punggungnya di masa muda, tak berubah banyak. Meski kutahu begitu banyak beban yang telah ia pikul disana. Keriput mulai merajalela di wajahnya, tapi tak pernah sedikitpun ia membiarkan rasa malas menguasai hari-harinya. Dia mencintai keluarganya, lebih dari dia mencintai dirinya.
Melihatmu berpeluh, aku luluh.. Isyarat semangat yang kau tularkan lewat kedua matamu lah yang membuat dada ini hangat
Ayah, apa dalam dadamu tak pernah hinggap kata lelah? Disaat nafaasmu mulai terengah, kau selalu menolak untuk kalah
Mungkin, jika di telapak kaki Ibu ada surga, dalam ridho mu kan kutemukan kunci menuju kesana
Ayah dalam pelukmu aku betah. Dalam rindangnya tatapmu aku menyandarkan lelah, Tanpa ketegasanmu, aku hilang arah
Satu hal yang kutahu sejak dulu. Dalam diammu, kamu sayang aku dan keluargaku.Aku mencintaimu,
11 comments
makin bertambah kangen ini dengan sosok ayah yang telah hilang dari kehidupan
semoga bisa jadi bapak seperti itu mas bro.. diem bukan berarti cuek..tapi memperhatikan..
Hampir sama banget dengan bapakku, mas…. Terima kasih sudah mengingatkan perjuangannya
Salam ya untuk beliau..
keren, tulisannya membuka pikiran kita pembaca akan pentingnya makna dibalik tindakan seorang ayah.
I love u bapak,,
keren mas (y) I love my Super Daddy {}
sempet berkaca baca artikel ini.. “Mungkin, jika di telapak kaki Ibu ada surga, dalam ridho mu kan kutemukan kunci menuju kesana”.. kalimat yg sangat menyentuh..tankiu Brili.. salam untuk keluarga..
Waalaikumsalam..
Cerita soal Bapak selalu membuat saya menangis terharu….
Salam kenal…
Salam untuk Bapaknya, Mas. Jadi ingat Ayah, suka berbohong demi kesenangan putra putrinya. :’)