Pak Basuki, Bersalah Atau Tidak ? ( Dari Sisi Linguistik )
Mencermati hiruk pikuk linimasa media sosial sebenarnya saya sudah menahan diri betul untuk tidak menambah riuh. Namun saya tidak bisa diam saja melihat ada upaya penyesatan logika. Dengan cara menggeser fokus ke kata “pakai” .
Ini jawaban saya :
Saya mengutip sebagian tulisan saya sebelumnya “Membedah Sisi Linguistik Kalimat Pak Basuki “ di http://briliagung.com/membedah-sisi-linguistik-kalimat-pak-basuki/
Tulisan ini akan lebih difokuskan untuk membedah sisi linguistik, sisi kaidah bahasa yang beliau gunakan.
Ini adalah potongan kalimat beliau :
“Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macam-macam..”
Mari kita bedah dengan kepala dingin. Jika kita ubah kalimat di atas dengan struktur yang lengkap maka akan menjadi seperti ini :
“Anda dibohongin orang pakai surat Al Maidah 51” – Ini adalah kalimat pasif.
Anda : Subjek
Dibohongin : Predikat
Orang : Objek
Pakai surat Al Maidah 51 : Keterangan Alat
Dengan struktur kalimat seperti ini, jelas yang disasar dalam kalimat Pak Basuki adalah OBJEK nya. Yaitu “orang ” . Dalam hal ini orang yang menggunakan surat Al Maidah 51.Karena Surat Al Maidah 51 di sini hanya sebagai keterangan alat yang sifatnya NETRAL.
SANGAT JELAS sekali bahwa yang menjadi sumber kegaduhan adalah video Pak Basuki di Kepulauan Seribu. Dan sangat jelas di situ beliau menggunakan kata “PAKAI” . Jadi daripada berdebat antara perbedaan makna antara menggunakan kata “pakai” atau tidak , kita fokuskan di kalimat yang ada kata “pakai” nya. Fokus di kalimat tersebut Pak Basuki sesuai yang terekam di video yang kini menjadi salah satu barang bukti di Bareskrim.
Kalimat “Dibohongin pakai surat Al Maidah 51” memiliki dua implikasi.
Orang yang menggunakan al Maidah sebagai alat untuk berbohong yang salah.
Atau Al Maidah nya sebagai alat yang digunakan untuk berbohong.
Kita bahas satu persatu.
Implikasi pertama, dengan kalimat tersebut berarti Pak Basuki sedang menuduh bahwa orang-orang yang menggunakan Al Maidah 51 untuk tidak memilih pemimpin non muslim sebagai pembohong. Pak Basuki memang tidak menyebut siapa “orang” yang dia maksud dalam kalimat ini. Dan ini menjadi sangat general maknanya.
Lalu ada yang menjawab, lho kan memang makna “awliya” dalam surat Al Maidah 51 itu bukan pemimpin, tapi teman baik. Kalau ada yang menyebarkan kata “awliya” sebagai pemimpin, berarti dia memang pembohong kan?
Siapapun yang berkata seperti ini, menurut saya sudah offside dan keterlaluan. Kita masing-masing harus mengakui bahwa kata “awliya” ini MULTITAFSIR. Ada ulama yang meyakini artinya Pemimpin. Ada ulama yang menafsirkannya sebagai teman baik. Perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini bukan untuk mendebatkan mana tafsir yang benar. Itu jelas jauh dari kapasitas saya. Yang perlu kita pegang dan akui adalah ayat ini memang multitafsir. Kita harus hormati keduanya.
Akibatnya?
Kita pakai logika sederhana.
Ada dua golongan. A dan B.
Golongan A adalah kumpulan orang yang meyakini bahwa tafsir “awliya” adalah pemimpin.
Golongan B adalah kumpulan orang yang meyakini bahwa tafsir “awliya” bukan pemimpin.
Mengatakan golongan A ini pembohong atau penipu karena meyakini tafsir “awliya” adalah pemimpin, inilah yang disebut bentuk penghinaan. Dihina atau direndahkan karena dianggap penipu atau pembohong.
Para ulama yang meyakini tafsir “awliya” dalam surat ini adalah pemimpin masuk golongan A. Tenntunya sangat wajar jika mereka merasa merasa tersinggung. Ketika satu ulama dari golongan ini memiliki pengikut yang banyak. Ketika seorang guru dituduh sebagai pembohong karena meyakini tafsir yang diajarkannya, wajar kan jika banyak umat islam merasa terluka?
Lalu ada yang membantah lagi, “Kan Pak Basuki dalam keterangannya di BERITA SATU memberikan keterangan bahwa yang dia maksud membohongi pakai Al Maidah adalah penyebar selebaran kampanye yang menggunakan Al Maidah 51 ketika dia maju di Pilgub Babel beberapa tahun lalu.”
Mari kita berpikir jernih. Apa mungkin selebaran itu sampai di Kepulauan Seribu? Agak susah masuk logika jika warga Kepulauan Seribu sampai terekspose selebaran tadi. Jadi buat apa melakukan peringatan terhadap pembuat selebaran itu di sana? Yang lebih mungkin adalah Pak Basuki sedang melakukan peringatan terhadap orang lain yang memiliki ajaran serupa. Dan itu bisa saja adalah ulama yang menafsirkan bahwa “awliya” dalam Al Maidah 51 bermakna Pemimpin.
Kemudian ada bantahan lagi, maksud dan niat Pak Basuki kan bukan itu? Lihat saja bagaimana dia memberangkatkan umroh para marbot dan yang lain sebagainya.
Saya tegaskan, apa yang dilakukan Pak Basuki terhadap para marbot dan sebagainya saya sangat apresiasi. Salut. Namun, dalam kasus ini yang namanya “niat” itu tidak kelihatan dan tidak dihitung. Arswendo Atmowiloto yang pernah dipenjara karena menghina agama, juga mengaku tidak pernah berniat menghina agama. Namun dia tetap diproses hukum.
Implikasi kedua, dalam kalimat Pak Basuki di atas bisa bermaksud bahwa Al Maidah 51 bisa digunakan sebagai alat untuk berbohong.
Kalau untuk hal ini, akibatnya bisa jauh lebih luas. Umat Islam yang meyakini bahwa Al Qur’an itu suci akan tersinggung dengan ini. Jika Anda merasa tidak tersinggung, lalu berkata bahwa umat yang tersinggung itu baperan atau terlalu sensitif, itu terserah Anda. Tapi ingat, umat yang merasa tersinggung ini juga dilindungi Undang Undang dan berhak melaporkan penyinggungnya kepada yang berwajib.
Saya hari ini melakukan survey kepada beberapa sahabat saya yang beragama bukan islam. Saya sempat kuliah di Bali selama empat tahun jadi saya memang terbiasa dengan pluralisme. Sahabat saya yang saya survey saya jamin bebas kepentingan PILKADA, Tidak Memegang KTP Jakarta, dan Berpendidikan minimal S1 . Mereka ada yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Pertanyaan saya satu.
“Jika ada seorang pemimpin daerah yang tidak seagama denganmu, lalu berkata bahwa Injil, Tripitaka, atau Weda adalah alat untuk berbohong apakah kamu tersinggung?”
Mereka semua satu suara. “Jelas, kami tersinggung.”
Kenapa saya melakukan survey ini? Karena awalnya saya ragu, apakah hanya umat islam yang “baperan” kalau dihina kitab sucinya lantas tersinggung? Faktanya, kawan-kawan saya pun yang tidak memeluk agama Islam akan tersinggung jika Kitab Sucinya dinyatakan sebagai alat untuk berbohong oleh Pemimpin Daerah yang tidak memeluk agama yang sama dengannya.
Jadi intinya, Pak Basuki bersalah atau tidak?
Menyatakan bersalah atau tidak adalah ranah hukum. Dan saya bukan ahlinya. Rasanya tidak tepat jika saya memutus bersalah atau tidak bersalah.
Namun yang pasti kalimat Pak Basuki menyinggung sebagian besar umat islam. Seperti yang saya jelaskan di dua implikasi kalimat di atas.
Tetapi sebagai Warga Indonesia, yang saya tahu hukum memegang prinsip keadilan.
Keadilan tanpa melihat jabatan, suku, agama, dan ras. Semua orang sama di mata hukum.
Saya mereferensikan terhadap kasus Ibu Rusgiani yang dipenjara 14 bulan karena berkata, “Tuhan tidak bisa datang ke rumah ini karena canang itu jijik dan kotor,”
http://www.bekasimedia.com/di-bali-perempuan-kristen-dipenjara-14-bulan-karena-menghina-agama-hindu/
Pertanyaannya, apakah pasal Pasal 156a KUHP: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. “ hanya berlaku untuk Ibu Rusgiani ?
Semoga tidak.
Mari kita sama-sama hormati proses hukum yang sedang berjalan di negeri ini.
Brili Agung
Penulis
———————-
Pendapat ini besok akan saya nyatakan di Indonesia Lawyer Club . Selasa, 8 November 2016 pukul 19:30 LIVE di TV One.
3 comments
Setuju sekali, andaikan mereka Golongan B dan pembantah tafsir para ulama itu membaca postingan ini . . .
wah kesempatan yang baik pak.. kami dukung :), izin reblog yaa
Semoga ada tidaknya kata “pakai” maupun wacana multitafsir tak sampai membutakan semua orang akan kebenaran dan keadilan. Jangan sampai terjadi nama “Ahok” tiba-tiba beralih menjadi “Buni Yani”.