Change or Die
“Satu hal yang tidak pernah berubah di dunia ini. Perubahan itu sendiri.”
“Pemerintah Indonesia itu BRENGSEK.”
Kata-kata lugas dan tajam itu membuat 50 audience di sebuah meeting room terdiam. Yang membuat terdiam bukan hanya isi kalimatnya. Namun siapa yang menyuarakan kalimat tersebut. Ialah Pak Ahmad Tohari. Seorang sastrawan legendaris asli Banyumas. Yang karyanya abadi mengabadikan sejarah tiap babak kejadian di Indonesia.
“Di Malaysia sana, Pemerintahnya turut andil dalam memajukan dunia kesusastraan negaranya. Penulis-penulis muda diberi ruang gerak untuk berkarya. Walaupun belum punya nama, namun apabila karyanya memenuhi standar, maka Pemerintah yang akan biayai proses percetakannya dan membantu memasarkannya. “ Tambahan kalimat ini semakin memperjelas maksud beliau.
“Dan yang membuat miris sekarang adalah proses penerbitan Buku di penerbit besar. Yang menentukan apakah sebuah buku layak diterbitkan adalah bagian pemasaran. Bukan redaksional seperti dulu.” Ungkap beliau.
Hal ini senada dengan hasil diskusi saya bersama Pak Vincent. Seorang pemimpin redaksi Elex Media Komputindo. Mulai 2016, penerbit akan menjadikan profil penulis sebagai faktor utama apakah redaksi akan menerbitkan bukunya. Hal ini berubah drastis jika dibandingkan 10 tahun lalu. Dimana para penulis cukup ongkang-ongkang kaki maka bukunya akan terbeli. Sejak sosial media meraja, paradigma ini sudah tidak berlaku. Penulis haruslah menjadi ujung tombak promosi bukunya sendiri.
“Jika penulis saja tidak antusias dengan bukunya sendiri, jangan harap pembaca akan antusias.” Kata-kata tersebut digarisbawahi oleh Pak Vincent.
Perubahan seperti ini berlaku universal. Saya analogikan dengan diakuisinya Nokia oleh Microsoft April lalu dengan mahar USD 7 miliar. Siapa yang menyangka, keperkasaan brand handphone yang satu ini sekarang tinggal sejarah? Bahkan saat ini microsoft sudah tidak lagi menggunakan nama Nokia di handphone keluaran mereka. Media Business Insider merilis sebuah headline yang mencengangkan “Nokia Phones are Dead.”
Padahal masih lekat di ingatan saya, bagaimana bangganya kita dulu menggunakan ponsel Nokia 6600 atau begitu gembiranya hati saya ketika bisa membeli N-Gage. Semuanya buyar saat Nokia memilih untuk bersikap apatis terhadap perubahan tren ponsel dunia. Merk-merk lain yang lebih progresif mengambil alih. Dari samsung hingga xiaomi. Menyedihkan.
Nasib kita pun sama. Kita selalu memiliki pilihan. Apakah kita responsif terhadap perubahan apakah tidak. Satu yang perlu kita garis bawahi, PENULIS SUDAH TIDAK BISA PASIF saat ini. PENULIS harus AGRESIF memasarkan karyanya.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh penulis pemula yang belum punya nama?
Penulis saat ini sudah tidak bisa introvert lagi. Penulis harus aktif. Harus mulai terbuka dengan social media. Minimal aktif di FB, Twitter, Instagram bahkan youtube. Selain itu penulis harus aktif di komunitas yang memiliki massa banyak. Karena itulah yang akan dilirik penerbit pertama kali. Profil penulisnya.
Dan perubahan ini yang akan saya bawa ke kelas menulis saya. Penulis tidak hanya akan saya mentoring sampai bukunya jadi, namun akan saya bekali dengan kompetensi BRANDING di awal sesi. Yang tentunya hal ini akan menjadi tambahan amunisi sebeelum mereka saya antarkan ke penerbit. Memiliki bargaining position yang kuat itu penting.
Welcome to the new era. Percayalah semua perubahan ini penting agar karya kita makin dikenal luas di dunia.
4 comments
wah mantap sekali artikelnya. saya jadi semangat menulis
Luar biasaaaa!
setelah membaca artikelnya mas Brili, selain membuat tambah semangat buat nulis, juga menciptakan rasa PeDe dalam diri, terutama bagi yang masih introvert, makasih buat artikelnya @mas Brili
Sama sama mba .. Semoga bermanfaat