Pilihan
Pagi ini aku dibangunkan (lagi-lagi) dengan sebuah pilihan klasik. Sarapan apa aku pagi ini? Ada tiga pilihan yang setia menanti jawaban kemana kaki ini harus melangkah.
Pilihan pertama adalah bubur ayam di tikungan jalan. Bubur Ayam yang sudah terbukti enak dan selalu mengantri untuk membeli nya. Kucing-kucing gendut yang bergerombol dibawahnya adalah indikasi lain bahwa Buryam ini memang enak. Dengan harga yang tergolong murah, 5 ribu rupiah.
Lalu pilihan kedua adalah nasi uduk yang ada di ujung jalan. Ibu penjualnya begitu ramah dan masih berasal dari satu daerah denganku. Menunya cukup lengkap. Tapi favoritku untuk sarapan disana adalah telur ceplok pedasnya. Lapak Ibu ini juga tak pernah sepi. Menjajakan dagangannya sedari jam 6, jam 10 juga pasti sudah habis.
Pilihan ketiga adalah warteg di pojok jalan, dekat dengan pasar. Warteg ini adalah favorit para tukang parkir, tukang ojek, dan tukang lainnya. Termasuk aku, tukang nulis. Menu di warteg ini sangat beragam. Aku sempat hitung ada lebih dari 20 varian menu. Dan semuanya menggoda.
Dalam menentukan pilihan, aku selalu mempertimbangkan akan makan apa siang nanti. Kalo sekarang nasi, berarti nanti siang menu ku bukan nasi. Jika pagi ini bubur, berarti siang nanti harus nasi. Selanjutnya biarlah feeling yang akan menentukan harus berakhir dengan apa lambungku pagi ini. Perut kenyang, semua senang.
Namun tidak semua pilihan kehidupan berakhir seperti itu. Tidak sesederhana memilih harus makan apa siang ini. Apalagi sebuah pilihan dengan resiko jangka panjang yang nanti harus melibatkan banyak pihak. Dengan konsekuensi yang ga hanya ditanggung sendirian. Konsekuensi yang juga ditanggung keluarga, saudara, dan pihak lainnya.
Dan semua akan jauh lebih rumit jika dibenturkan pada kenyataan bahwa semua pilihan itu baik. Masing-masing mempunyai nilai plus dan minus. Mempunyai koefisien yang jika dikalkulasikan akan jadi ekuivalen. Skala prioritas tiba-tiba bisu dan menyerahkan semua kembali pada logika dan hati saja.
Hati dan logika mendadak saling melempar tanggungjawabnya untuk memberikan keputusan. Ketika hati dan logika sudah lumpuh, kehilangan keberaniannya untuk memutuskan maka tempat terakhir adalah Tuhan.
Hanya kepadaNya lah harapan terakhir bisa kita serahkan. Tak ada yang berani mengganggu gugat pilihanNya. Semua keputusannya mempunyai kuasa FINAL. Stempelnya Final, dan selalu tepat waktu. Ya, tinggal DIA lah sekarang tempatku meminta pertimbangannya. Sebaik-baiknya pilihan ada pada Nya.
Dan saat Dia menjatuhkan kuasaNya untuk menentukan pilihan, niscaya masalah memilih sarapan di pagi hariku akan sirna dengan sendirinya….
6 comments
antara memilih sarapan dan memilih jodoh hampir ada kesamaan
semerbaknya bau sate siapa yang bisa menahan,semerbaknya kuntum mawar siapa yang bisa menahan siapa yang bisa menahan indahnya cinta….dikala jauh ia mendekat,dikala mendekat ia berlari, itulah cinta yang yak pasti,,,,dalam lantunan al quran aku bernyanyi berharap malaikat menjatuhkan surat cinta dari ilahi, dalam lantuan solat aku berpasrah berharap malaikat menjatuhkan surat kuasa….oh tuhan inikah yang namanya cinta ketidak tahuan….
matangkan pemikiran, sederhanakan tindakan.
simpel, jawabannya ada di QS 33:36…..baca yuk..
Al Ahzab
Seseorang merasa bahwa dia masih duduk di bangku sekolah dasar,yang masih lugu, dan culun..tapi ternyata waktu berjalan begitu cepat, mengantarkan pada kedewasaan. Thanks to Brili Agung Zaki Pradika who has inspired me