Plakat Tanda Jasa

 

Aku duduk termangu. Dengan tatapan sayu kupandang semua benda yang siang itu sengaja kujejerkan di sebuah trotoar dekat Malioboro, Jogja. Sengatan matahari yang begitu menyengat tak kuhiraukan. Semakin dalam kupandangi benda-benda ini, tiba-tiba memoriku seperti kembali terlempar ke sebuah kenangan yang begitu manis di masa lalu. Ya! Berbagai plakat penghargaan ini adalah bukti betapa aku pernah berbuat sesuatu untuk pendidikan bangsa ini. Kata pegawai dinas pendidikan saat itu, aku berhak mendapatkannya karena pengabdianku selama 35 tahun mengajar di sebuah pedalaman Gunung Kidul. Disaat hampir semua guru dari Jogja menolak untuk dimutasikan mengajar disana.

Motivasiku saat itu hanya satu. Aku begitu terenyuh melihat semangat anak-anak Gunungkidul. Bagiku, pemandangan paling heroik adalah melihat mereka beriringan memakai baju seragam merah putih kumal, tanpa alas kaki, dan membawa satu tas kresek hitam berisi peralatan belajar. Dan satu hal yang selalu melipatgandakan semangatku mengajar disana adalah senyum ceria mereka. Dengan kondisi penuh kekurangan dan jerat kemiskinan, mereka selalu tersenyum ceria saat mendengar apa yang kusampaikan di depan kelas. Mereka tinggalkan beban hidup mereka di rumah, dan membawa cangkir ilmu mereka ke sekolah ini untuk diisi hari demi hari.

Lupakan tentang gaji yang seringkali terlambat. Lupakan tentang fasilitas sekolah yang amat jauh tertinggal dari sekolah lainnya di kota. Melihat mereka berteriak bangga karena mendapatkan nilai bagus, untukku adalah bayaran yang tak ternilai harganya. Sungguh, orang tua mereka juga sangat baik. Walaupun mereka sadar hidup serba kekurangan, mereka tak pernah ragu untuk berbagi makanan ala kadarnya untukku dan keluargaku. Kadang singkong, kadang belalang yang sudah digoreng, kadang tumis keong, kadang jika cuaca sedang bersahabat, wali murid yang berprofesi nelayan sering memberiku Ikan segar tangkapan mereka. Dan yang paling istimewa mungkin sarang burung walet yang penuh khasiat. Mereka tak mempunyai cukup uang untuk membayar sekolah anak-anaknya. Tapi mereka sadar bahwa pendidikan adalah bekal begitu berharga.

Aku kembali tersenyum mengingat itu semua, walaupun harus kuseka air mata haru yang tiba-tiba terbit di pelupuk mataku ini. Di usia enam puluh aku harus pensiun. Dan mau tak mau aku harus kembali ke rumahku di daerah Gamping di pinggiran kota Jogja. Orang tuaku sudah tiada dan Aku harus merawat rumah ini. Meninggalkan anak-anak luar biasa itu beserta seluruh pengalaman berharga di Gunung Kidul memang amat berat.

“Woi, jualan mbok yo ojo ngalamun!” Warjo si pedagang blangkon meneriaku dan cukup membuatku kaget dan tergagap.

“Iyo, tawarkan itu pada orang lewat Pak. Kalo diam aja sambil ngalamun yo sampek elek ra bakalan payu dodolanmu.” Bu Narti, si pedagang pecel pun ikut menimpali.

“Jualanmu menurutku agak aneh Pak, siapa ya yang mau beli barang-barang kayak gitu? Harusnya Pak Giman sumbangin ke musium aja Pak.” Warjo kembali urun pendapat.

Aku diam saja. Bukannya aku enggan menjawab, tapi memang itulah yang juga aku pikirkan sedari tadi. Orang khilaf mana yang akan membeli barang daganganku ini? Plakat-plakat tua ini memang amat berarti bagiku. Tapi untuk orang lain apa gunanya?

“ Kenapa to, tanda penghargaan itu harus dijual Pak?” Bu Narti bertanya iba.

“Aku butuh uang Bu…” Suaraku lirih tercekat.

“ Apa istri atau anakmu sedang sakit Pak?”

“Ndak Bu.. Anak bungsuku Asih butuh uang untuk masuk SMA. Aku ndak punya biaya untuk membayar uang gedungnya.”

“Kenapa ndak ngutang dulu? Siapa tau ada yang mau bantu”

“Sudah Bu, sudah aku coba ke mana-mana untuk meminjam uang. Tapi ndak ada yang mau minjemin..”

“Pak Giman bukannya punya gaji? Eh, maksudku uang pensiun?” Warjo tak tahan untuk ikut nyamber.

“Habis buat nyicil motor ojekannya Danu anak sulungku. Dan buat makan sehari-hari juga kadang ga nutup Jo.”

Warjo terdiam. Dia tahu benar bagaimana rasanya ada di posisi Pak Giman. Sesama orang kecil, dia merasakan pula bagaimana rasanya bertahan hidup di Kota ini dengan berjualan di kaki lima.

“Pak Giman yakin, barang dagangannya akan laku? Udah sore ini lho pak..” Bu Narti bertanya lirih kepadaku. Sorot matanya mengisyaratkan perasaan iba kepadaku.

“Insya Allah bu, kalau Allah memamng berkehendak menurunkan rejekinya, tidak ada satupun hamba yang bisa menghalanginya.” Kujawab sambil mengelap plakat-plakat ku. Entah sudah berapa ratus kali ku lap hari ini.

Hilir mudik wisatawan di sepanjang Malioboro memang tak pernah sepi. Apalagi ini musimnya liburan. Dagangan blangkon Warjo hari ini tampak laris. Sudah puluhan blangkon yang berhasil ia jual. Dia memang sangat pandai merayu calon pembelinya. Ditambah mukanya yang lugu dan humoris menjadi nilai plusnya. Sedangkan pecel Bu Narti tidak usah di tanya. Walaupun dagangnya di kaki lima, tapi rasanya sudah melegenda. Pelanggannya dari tukang becak hingga direktur Bank yang kantornya di seberang jalan ini. Sedangkan jualanku, belum ada satupun yang menawar. Jangankan menawar, melirikpun aku rasa belum ada.

Ku lap keringat yang mengucur deras dari tubuh renta ku ini. Semakin kupandang plakat-plakat ini, semakin getir dadaku rasanya. Berbagai penghargaan ini ternyata tak sanggup untuk menghidupiku dan keluargaku. Hanya simbol dan seremonial sesaat dan kini hanya tinggal onggokan benda tak ada nilainya.

Sebuah ironi nyata di negriku tercinta ini. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, predikatku sebagai guru teladan bertahun-tahun beberapa tahun lalu bahkan tak bisa mengantarku menyekolahkan Asih anakku untuk masuk SMA impiannya. Sekolah yang begitu diharapkan Asih untuk membantunya meraih cita-cita tertingginya. Yang dulu setiap saat kusuntikkan itu ke dalam pikiran para muridku.

“Pak, plakat-plakat ini hendak Bapak jual?” Sebuah suara penuh wibawa mengagetkanku. Suara itu datang dari seorang laki-laki gagah, berdasi, berjam tangan dan bermobil mewah.

Saking terkejutnya Aku, aku hanya bisa mengangguk angguk semangat dan tersenyum lebar penuh harap. Sudahlah, aku tak peduli walau gigiku sudah banyak yang ompong.

“Mau Bapak jual berapa Pak?’

Sekali lagi mulutku terkatup. Pandir benar aku ini, berjam-jam aku duduk disini mengelap dan menjajakannya, tapi belum aku pikirkan harganya. Duh Gusti…

“Berapa Pak?”

“ Tiga ratus ribu mawon Pak.”

“Nggeh, Jadi semuanya satu setengah juta ya Pak? Boleh Saya beli semuanya?”

Apa??Mau dibeli semuanya? Aku memang sudah tua, tapi telingaku masih belum budek. Dan tidak ditawar sama sekali. Haduh, tau begitu Aku tawarin lima ratus ribu tadi. Ah, sudah laku pun aku sudah beruntung. Duh Gusti, maafkan keserakahan hambaMu ini..

“ Apa bapak punya penghargaan yang lain Pak?”

Langsung kurogoh tas hitam tua bututku. Kuambil berbagai macam piagam didalamnya. Piagam guru matematika terbaik se Provinsi, Piagam peserta pelatihan P4 terbaik, Sertifikat sebagai pelatih senam SKJ dan lain-lain yang tidak begitu berarti buatku kukeluarkan semua. Total ada lima belas lembar.

“ Satunya Bapak jual berapa?”

“Dua ratus ribu mawon Mas.” Hanya angka itu yang terlintas di kepalaku.

“ Jadi semua totalnya empat juta lima ratus ribu ya Pak. Bapak jangan kemana-mana, saya akan mengambil uang dulu di ATM seberang jalan itu Pak. “ Kata laki-laki itu menunjuk Bank megah yang berdiri di seberang jalan.

“ Nggeh Mas, Nggeh!” Aku masih tak percaya. Kukucek mataku. Kucubit sendiri pipiku.Duh, sakit. Berarti Aku tidak sedang bermimpi di siang bolong.

Menit-menit berlalu. Dan Laki-Laki itu tak kunjung datang. Aku jadi gelisah sendiri Apa dia benar-benar serius mau membelinya atau hanya hanya ingin menggodaku. Ah sudahlah, aku pasrahkan saja pada Gusti Allah. Ah, alhamdulillah laki-laki gagah itu datang juga. Walaupun keningnya agak berkeringat, dia menyerahkan sebuah amplop coklat kepadaku.

“Monggo dihitung dulu Pak.”

Kuhitung jumlah uangnya, dan sesegera mungkin kubungkus semua plakat dan piagam penghargaanku. Aku takut laki-laki ini berubah pikiran.

Kupandang laki-laki muda itu dengan perasaan yang tak karuan rasanya. Antara gembira dan juga sedih. Semua kebanggaanku dan sebagian harga diriku akan dia bawa entah kemana dan untuk apa.  Kulipat alas daganganku dan segera kukemasi. Kau ingin segera beranjak pulang. Aku pamitan pada Warjo dan bu Narti yang kurasa juga mereka masih tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Jangankan mereka, aku pun masih bertanya-tanya.

“Alhamdulillah ya Pak, benar kata Bapak. Kalo Allah sudah berkehendak menurunkan rezekiNya, tak ada seorang hamba pun yang sanggup menghalanginya.. “ Warjo tersenyum jenaka.

“ Ini Pak dibawa buat keluarga di rumah.” Bu Narti mengangsurkan bungkusan yang aku rasa berisi Nasi pecel.

“Waduh Bu, mboten usah repot-repot.” Aku sungkan untuk menerimanya.

“Sampun Pak, dibawa aja. Ini rejeki lho Pak.. Kan Bapak sendiri yang bilang kalo udah jadi rejeki, ga boleh dihalang-halangi.” Bu Narti tersenyum tulus .

“Maturnuwun lho Bu. Jarang-jarang Saya dan Keluarga bisa menikmati pecel legendaris buatan Ibu.”

“Kapan-kapan jangan sungkan main kesini lagi lho Pak!” timpal Warjo .

Aku mengangguk, setelah kuucapkan salam kuputuskan untuk pulang jalan kaki. Semoga aku bisa menata kembali perasaanku. Aku tak ingin istriku melihat seraut wajah menyesal dan kehilangan dariku. Aku ingin Asih sekolah, Asih harus masuk SMA favoritnya! Sudah terbayang di benakku bagaimana senang dan Bangganya dia bisa masuk SMA yang menjadi idaman semua anak SMP yang sudah lulus. Aku tahu, Asih murid yang pintar. Nilai UAN nya sudah lebih dari cukup untuk masuk ke SMA tersebut.

Aku melangkah gontai. Separuh hatiku gembira karena Asih bisa sekolah. Empat setengah juta cukup untuk membayar semua biaya pangkal masuk sekolahnya. Biaya yang lain nanti lah aku pikirkan lagi. Yang penting Asih memenuhi syarat dulu. Namun, entah kenapa di sisi lain aku ingin menangis. Plakat-plakat kebangganku dan bukti pengabdianku untuk pendidikan sekarang telah berpindah tangan. Tidak ada lagi yang bisa aku lap sambil bersiul tiap sore di lemari ruang tamu.Tak terasa pintu reyot rumahku telah terlihat. Siti, istriku menyambutku dengan perasaan khawatir.

“Bapak dari mana Pak? Tadi ada laki-laki muda mencarimu. Dia meningggalkan bungkusan itu dan sebuah surat untukmu. Aku takut sampeyan kenapa-napa.”

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Keringat dingin kurasakan dari tengkukku. Aku kenal bungkusan itu. Buru-buru kubuka dan benar saja dugaanku. Semua plakat dan piagam yang tadi aku jual utuh disana. Apa laki-laki itu berubah pikiran? Ah, mungkin harga yang kuberikan terlalu mahal dan ia tak jadi membelinya.

Batinku bergejolak riuh.Tubuhku langsung merosot ke kursi dan kubuka surat darinya. Dan sehelai kartu nama terselip di amplop itu.

Pak Giman yang saya cintai dan selalu saya jadikan teladan,

Ini saya kembalikan semua plakat dan penghargaan Bapak. Semua penghargaan itu tidak hanya berarti untuk Bapak. Tapi sama besarnya artinya untuk kami. Murid-muris yang telah bapak didik dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab. Sampai kapanpun, dan jadi apapun kami sekarang kami akan selalu bangga menjadi murid Bapak. Saya sadar ini tak sebanding dengan semua jasa Bapak kepada kami. Kapanpun Bapak butuh bantuan, Bapak bisa hubungi saya kapan saja.Alamat dan nomer telepon saya ada di kartu nama yang saya tinggalkan.

Saya berjanji akan sowan ke rumah Bapak lain waktu. Maaf Pak, saya tidak bisa lama-lama tadi, karena ada urusan yang lainnya. Jadi saya tuliskan surat ini dan saya titipkan kepada Ibu. Mungkin beliau lupa dengan saya, tapi saya yakin Bapak pasti ingat dengan saya.

Pujiadi, lulusan tahun 85.

 

Langsung terbayang sosok kecil, kurus, dan hitam. Muridku yang bernama Pujiadi. Tak kusangka sekarang dia bisa menjelma menjadi laki-laki gagah, tegap dan berkulit bersih. Lebih dari itu, kurasa di juga sudah berhasil membuktikan dirinya sukses. Terharu aku mengingatnya.

Tak ada kata-kata yang bisa kuucapkan lagi. Hanya air mata yang begitu deras mengalir tanpa diminta.  Aku hanya bisa bersujud syukur dan menengadahkan terima kasih yang sebesar besarnya untuk Gusti Allah.

CEO Inspirator Academy, penulis 6 buku, co-writer 17 buku artis, pengusaha, dan trainer.

Belajar Bisnis Dari Drakor Seru Abis

Sebagai penulis, melahap film dari berbagai genre adalah kebutuhan bagi saya. Membanjiri pikiran dengan ide ide baru, pembelajaran dan inspirasi dengan cara yang menyenangkan. Jadi itulah kenapa saya ga fanatik terhadap satu jenis genre film….

Transformasi Radikal Qyta Trans

Pandemi Covid 19 keras menghantam banyak lini. Wabah tentunya menyerang sisi kesehatan, namun ada sisi lain yang juga terhantam tidak kalah telak. Apalagi jika bukan sisi ekonomi. Semua pelaku usaha, mulai dari level kakap sampai…

Review Film Ghost Writer

    Ghost writer yang mereview film ghost writer. Akhirnya, setelah sekian lama bisa nge blog lagi. Dan, kali ini edisi khusus karena saya akan me review sebuah film. Karena biasanya untuk blog ini, review…

Cerita Dari Dirigen Oli Bekas

Cerita Dari Dirigen Oli Bekas Beberapa hari yang lalu mungkin teman-teman tahu bahwa saya menginisiasi donasi untuk membantu seorang anak bernama Latif. Sebuah video viral di social media memperlihatkan dia sedang dipaksa menyiram oli bekas…

Kios Untuk Ayah

Apakah benar hidup bermula di usia 40 tahun? Banyak sekali yang berkata kepada saya demikian. Bisa jadi ada benarnya, bisa jadi tidak berlaku bagi sebagian besar orang. Coba lihat sekeliling kita saat ini, apakah saudara…

7 comments

    Sdh lama rasanya airmataku tak mengalir. Cerita ini berhasil membuatku berlinang kembali.
    مَاشَآءَاللّهُ. Terimakasih.

Leave a Reply to Safri Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *