Mencari Marikena

Mobil kijang Innova inventaris sebuah perusahaan tambang aluminium terbesar di Indonesia membawaku membelah jalan Letjen Jamin Ginting, Medan. Hari menjelang siang, belum genap jarum pendeknya menunjuk angka 11. Namun jangan ditanya, matahari garang menyinari segenap penjuru kota Medan. Tanpa Ampun.

Tujuanku terbang kemari dari Jakarta sebenarnya dalam rangka memberikan Pelatihan kepada staff perusahaan tambang aluminium di Kabupaten Batubara. Tiga jam dari kota Medan. Namun karena jadwalku beraksi keesokan harinya, aku memutuskan di hari pertama aku ingin mencoba kuliner yang legendaris di Kota ini. Konon kabarnya, satu-satunya kedai yang menghidangkan masakan khas Karo hanya tinggal satu di kota ini. Resep asli turun temurun yang sekarang sudah mencapai generasi ke- tiga namun rasanya tidak ada duanya.

Medan memang betul-betul kota yang keras. Awalnya, kukira hal itu hanya mitos belaka. Namun pandangan itu berubah total hari ini. Saat aku bertemu mahluk bernama “Angkot Medan”

Keputusanku untuk duduk di kursi depan sebelah supir ternyata bukan keputusan yang baik. Karena aku berkali-kali harus “menikmati” semacam sensasi adrenalin yang mengucur keras. Terutama saat supir mobil yang kutumpangi harus berjibaku dengan puluhan, maaf.. ratusan angkot yang bertebaran di sepanjang jalan.

Awalnya, kukira angkot di Medan itu menyenangkan. Mobil carry yang sudah di modifikasi, di ubah dengan variasi penuh gaya dan warna-warni. Tidak lupa dengan speaker sebesar kardus dengan suara membahana. Aku bahkan berharap cemas, kapan angkot-angkot ini berubah menjadi anak buah optimus prime seperti di Transformer.

Namun harapan itu sekejap sirna saat melihat bagaimana supir di dalamnya membawa angkotnya berakrobat. Mereka membawanya dengan sangat terampil.Sedikit-sedikit mau nabrak, sedikit-sedikit rasanya mau nyerempet. Dan aku curiga, jangan-jangan tiga pedal di dalamnya itu gas semua! Mengendarai mobil di tengah jalanan kota Medan seperti sedang meluncur di arena bom bom car. Seru, menegangkan, mengasyikan.

“Pak, nanti kita makan di kedai Marikena ya.. Alamatnya disini..” Kataku kepada Pak Wahid, supir yang menjemputku.

“Saya tahu jalan nya Pak.. Tapi persisnya ga tau. Memang enak ya Pak makan disitu?” Dia menatapku sangsi.

“Generasi ketiga pemilik kedai ini adalah salah satu teman terbaikku saat kuliah dulu Pak. Dari dulu dia selalu mewanti-wanti agar aku mampir ke kedai nya, saat ke Medan. Bahkan dia sudah mengabari Ibunya, hari ini saya akan mampir kesana.” Aku menjelaskan dengan detail. Pak Wahid hanya mengangguk takzim. Dan tanpa banyak tanya, dia langsung memasang matanya melihat kanan kiri, mencoba menangkap tanda kedai makan “Marikena”.

“Ehm.. Dimana ya  pak? Saya ko belum nemu nih.” tanya Pak Wahid yang mulai kebingungan mencari alamat. Membuat ku sempat berpikir, ini sebenarnya supir atau Ayu Ting Ting?

“Katanya dekat apotek besar Pak. Kalo dari arah bandara, ada di kanan jalan” Aku membacakan sms dari Imah, sang generasi ketiga pemilik kedai tersebut.

Aku sendiri tampak kebingungan. Tidak terlihat ada restoran disini. Apalagi sebuah restoran ramai yang pasti dipenuhi oleh para pengunjung disaat jam makan siang seperti ini.

“Kayaknya itu ya Pak?” Pak Wahid menunjuk ke seberang jalan.

“Sepertinya begitu Pak..” Aku sendiri pun tampak ragu.

marikena

Dan di depan ku sekarang terdapat satu kedai sederhana. Dari bangunannya, mungkin sang pemilik sendiri sudah lupa kapan kedai ini terakhir di renovasi. Papan nama Marikena yang tergantung di depan kedai sudah kusam di tampar asap kendaraan tiap hari. Berdiri di antara toko-toko megah berarsitektur modern. Nampak beberapa motor serta mobil terparkir di depannya.  Aku dengan ragu memasuki kedai dan memandang berkeliling. Seorang Ibu berkerudung dan memegang handphone menghampiriku.

“Brili temannya Imah ya?” Dia bertanya dengan senyum lebar.

“Iya Bu,, ko tahu? “

“Iya,, tadi Imah kasih tahu Ibu.. Ayo duduk dulu. Temannya diajak juga.”

Setelah aku memilih tempat duduk, Ibu Imah dengan cekatan mengambilkan piring demi piring dan di jejer di meja hadapan kami. Aku yakin, apa yang beliau hidangkan adalah menu khas Karo semua. Dari bau bumbunya saja sudah menerbitkan selera makan, membangunkan monster yang sedari tadi sudah bergeliat pelan dalam perut.

Ikan mas gulai, ikan lele gulai, ikan tauco, ikan goreng, ikan gulai, nila asam manis, ayam gulai, ayam cipetra , semua berbaris rapi menunggu giliran kapan akan masuk ke dalam mulut. Sepiring nasi putih yang mengepul manja menambah gairah kami untuk langsung menyicipi satu demi satu makanan Karo ini.

Gelas-gelas di warung ini di telungkupkan di atas mangkok kecil berisi air. Hoo, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Bibir gelas tetap bersih karena terendam air, air dalam mangkok pun masih bisa digunakan untuk cuci tangan.

Tidak lupa segelas air nira yang dicampur dengan es batu menjadi penawar kadar kolesterol yang pasti akan meningkat setelah makan siang ini selesai.

Rasa lapar yang tadi mendadak hilang kini muncul tak terkendali. Tak berapa lama, kami berdua sudah kalap makan siang. We both eat like there’s no tomorrow.

Dengan mulut penuh, Aku memperhatikan kondisi sekeliling. Pengunjung siang itu tak hanya kami berdua. Meja dan kursi yang tadinya sendiri, kini sudah mulai penuh sesak diduduki. Jam makan siang telah tiba. Berkali-kali Ibu Imah permisi untuk ikut melayani pembeli. Selain yang makan ditempat, beberapa orang lain yang datang hanya memesan untuk dibawa pulang.

Ibu Imah dan menu KAro yang mengepul..
Ibu Imah dan menu KAro yang mengepul..

Di depan, terdapat etalase kaca berisikan menu khas Karo yang siap disajikan. Secara gamblang, tempat ini jelas bukan sebuah restoran yang seperti yang  kupikirkan sebelumnya. Kedai ini hanya sebuah Kedai tua yang masih tegar berdiri disapu jaman di salah satu belantara kota Medan.

“Kedai ini sudah berdiri berapa lama Bu?” Aku tak menyiakan kesempatan untuk bertanya, saat Ibu Imah duduk di depanku.

“Kedai ini sudah berdiri sejak tahun 1960. Neneknya Imah yang mendirikan pertama kali. Sampai sekarang pun, dia masih masak..” Ibu Imah menjelaskan dengan tenang. Dalam hati aku menghitung, berarti kedai ini sudah berdiri 50 tahun lebih.

Waktu dimana Aku  masih berada di awang-awang. Jauh sebelum gue lahir atau bahkan direncanakan.

“Nasinya nambah ya!!” Suara Bapak-bapak buncit berambut cepak mengagetkanku di meja seberang. Wajahnya tengil penuh keringat.

“Bu, itu orang mesen makanan atau ngajakin ribut bu?” Spontan aku bertanya.

“Hahahahaha.. Disini biasa seperti itu Brili.. Namanya juga orang medan..” Ibu Imah tersenyum simpul. Aku paham dia sudah menelan hal seperti ini berpuluh tahun lamanya.

“Kedainya sederhana, tapi ramainya luar biasa ya Bu..” Aku berkomentar.

“Ya, dari kedai ini Ibu bisa kuliahin Imah sampai Bali. Kami bisa hidup layak turun temurun, naik haji juga dari kedai ini.. Kedai ini udah jadi tulang punggung keluarga besar kami..” Ibu Imah berkata bangga. Tangannya mengelus dinding kedai, seperti ia mengelus anak kesayangannya.

“Apa rahasianya Bu?” Aku semakin penasaran.

“Semua makanan kami masak dengan kayu Bakar nak.. Dan Nenek tak pernah luput untuk membuat sendiri bumbunya. Lalu ayam selalu kami gunakan ayam kampung. Tak lupa asam cikala-nya. Mungkin itu yang membuat setia para pembeli disini..” Ibu Imah menjelaskannya dengan rinci.

Selama lima puluh tahun, tempat ini pasti menyimpan begitu banyak kenangan bagi Imah dan keluarganya atau orang-orang yang dulu pernah datang dan menumpang makan di warung sederhana ini.

Selama lima puluh tahun, warung ini masih berdiri tegak tanpa banyak berubah. Tetap dengan menu dan meja kursi yang sederhana. Penuh dengan memori dan cerita. Layaknya time capsule berisi potongan-potongan kenangan untuk orang-orang yang pernah makan disini puluhan tahun yang lalu.

Semuanya ibarat menjelaskan kenapa kedai ini tetap eksis di tengah gempuran restoran modern dengan panji-panji asing yang mulai menjamur di Medan. Penikmat makanan di sini, selain ketagihan dengan masakannya juga ketagihan dengan nilai nostalgianya.

Mungkin dengan makan disini, orang-orang ini bisa menggali time capsule untuk dirinya. Mengingat keadaan lima puluh tahun yang lalu, yang perlahan mulai terkorosi dari ingatan dalam kepala.

Karena kedai makan Marikena ini bukan tempat biasa, ini adalah sebuah kedai penyimpan memori.

Tentang sebuah kesederhanaan, buah dari kerja keras, dan juga kenangan yang tak lapuk dimakan usia. Semua berbalut padu dengan bumbu-bumbu penggugah selera di menu nya. Ayam kampung gulai khas marikena misalnya. Yang tak henti selama lima puluh tahun memanggil para pengunjung.. “Mari, ayo kemari..”

Sesuai dengan arti nama Marikena dalam bahasa Karo. Marilah kemari..

 

CEO Inspirator Academy, penulis 6 buku, co-writer 17 buku artis, pengusaha, dan trainer.

Belajar Bisnis Dari Drakor Seru Abis

Sebagai penulis, melahap film dari berbagai genre adalah kebutuhan bagi saya. Membanjiri pikiran dengan ide ide baru, pembelajaran dan inspirasi dengan cara yang menyenangkan. Jadi itulah kenapa saya ga fanatik terhadap satu jenis genre film….

Transformasi Radikal Qyta Trans

Pandemi Covid 19 keras menghantam banyak lini. Wabah tentunya menyerang sisi kesehatan, namun ada sisi lain yang juga terhantam tidak kalah telak. Apalagi jika bukan sisi ekonomi. Semua pelaku usaha, mulai dari level kakap sampai…

Review Film Ghost Writer

    Ghost writer yang mereview film ghost writer. Akhirnya, setelah sekian lama bisa nge blog lagi. Dan, kali ini edisi khusus karena saya akan me review sebuah film. Karena biasanya untuk blog ini, review…

Cerita Dari Dirigen Oli Bekas

Cerita Dari Dirigen Oli Bekas Beberapa hari yang lalu mungkin teman-teman tahu bahwa saya menginisiasi donasi untuk membantu seorang anak bernama Latif. Sebuah video viral di social media memperlihatkan dia sedang dipaksa menyiram oli bekas…

Kios Untuk Ayah

Apakah benar hidup bermula di usia 40 tahun? Banyak sekali yang berkata kepada saya demikian. Bisa jadi ada benarnya, bisa jadi tidak berlaku bagi sebagian besar orang. Coba lihat sekeliling kita saat ini, apakah saudara…

12 comments

    Satu bagian yang buat bener2 air mataku terurai… dimana ternyata 50 tahun sudah nenekku berjuang untuk menghidupi 3generasi.. 5 anak , 24cucu, 33cicit.. dan perjuangan itu tanpa seorang suami yg mendukungnya.. ntah dengan dasar pemahaman apa beliau bisa sekuat itu membiayai kami sekeluarga besar seperti ini.

    Mkasi untuk tulisan mu kali ini mas…
    Membuat aku bangga punya nenek dan mama seperti beliau2.. :’)

    Kesekian puluh kalinya aku makan ayam pete di RM Marikena, baru hari ini aku penasaran kira2 RM ini terkenal ga ya di dunia maya dan akhirnya sampai juga di blog ini. Waktu awal-awal saya makan di RM ini, pada awalnya saya menolak makan di sini, karena kata teman saya, ini RM khas karo. Ow NO, lidah saya pasti tidak akan menerimanya karena menurut saya masakan karo itu suka over bumbunya.. heheeh.. tapi setelah mencoba makan Ayam pete sekali, bener2 nagih rasanya. Sampai2 saya merekomendasikan makan di sini kepada para tamu instansi saya untuk makan di sini dengan melontarkan pertanyaan “Bapak/Ibu mau makan di tempat enak atau makan enak” … heheehe.. karena makan di tempat enak (nyaman, jauh dr jalan raya, tidak bising) itu belum tentu kita akan menyantap makanan enak..

    Jaya terus RM Marikena

Leave a Reply to Peni Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *