Surat Untuk Sulastri
Sering kali di setiap sesi talkshow ataupun training, ada yang bertanya :
“Gimana caranya biar ide ga mandek mas? Kadang-kadang pas lagi semangatnya nulis tiba-tiba ide mentok!”
Nah dari berbagai macam cara untuk menembus writers block seperti diatas, kamu bisa pakai cara Random ini. Sebuah cara yang aku berikan nama #UrunanKalimat. Jadi saat aku mengalami masalah writers block aku ajak semua kawan di Twitter untuk #UrunanKalimat . Tugasku selanjutnya adalah memilih 3 dari sekian banyak #UrunanKalimat yang masuk di tab mention… Dan bagian paling menantangnya adalah menyatukan tiga kalimat acak itu menjadi satu rangkaian cerita yang apik.
Bagaimana hasilnya? Seperti ini contohnya :
Diambil dari 3 #UrunanKalimat ini
Beginilah Jadinya : Sebuah cerita berjudul : Surat Untuk Sulastri
Kepada : Sulastri
Maafkan aku jika kedatangan Karta mengantarkan sepucuk surat ini menggangumu. Tapi ini teralhir kalinya aku menggangumu dengan surat ku. Aku janji, aku pastikan itu. Dan saat kamu membacanya, percayalah aku sudah ada di belahan waktu lainnya Nusantara.
Lastri, aku merangkai kata ini di warung tepi lapangan SD tempat anak-anak sudah mulai dapat menghormat pada merah putih dengan tenang. Dengan leluasa di hari ulang tahun ke-2 Republik ini. Dan tahukah engkau, dari siaran RRI yang sedang diputar Pakde Warso sedang memberitakan tentang Mesir yang menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan kita sebagai Bangsa Merdeka. Andai aku bisa bertemu dengan H. Agus salim , Pak AR Baswedan, Dan Prof Rasjidi, aku ingin belajar cara berdiplomasi mereka yang luar biasa. Dan andaikan aku bisa bertemu Hasan Al Bana yang mendorong pemerintah Mesir mnengeluarkan keputusan ini. Akan kusampaikan salam hormatku padanya.
Ah, seharusnya rasa bangga dan bahagia ini sedang kunikmati bersamamu. Seperti dahulu saat kita pertama kali bertemu diantara desingan peluru. Saat kau sedang berjalan sendirian di pematang sawah dan spontan berteriak “Lihat bebeknya terbang!”
Dan diikuti dengan deru tank penjajah berkulit kuning dan sipit lengkap dengan senjata yang ditembakkan kemana-mana. Membuat semua termasuk bebek yang sedang berbaris rapi terbang tak tentu arah. Saat iku aku menarikmu lari untuk bergabung dengan para gerilyawan di tengah hutan. Sejak saat itu cerita antara kita tak pernah sama seperti sebelumnya.
Lastri, mungkin perang sudah usai, kapal-kapal penjajah satu persatu sudah bertolak kembali ke negara mereka, tapi perang di hati aku ternyata lebih besar daripada bom yang meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki dua tahun yang lalu.
Perang ini tidak bisa aku menangkan dengan bambu seruncing apapun, tidak juga dengan senapan rakitan yang dulu aku buat dari kayu jati bersama rekan-rekan seperjuangan. Aku ingin kamu tau kalau aku tidaklah menyimpan sakit hati apalagi dendam atas apa yang kamu perbuat, sungguh, tak terbersit sedikit pun di pikiran aku untuk membencimu, karena aku tau kalau hidup tidaklah selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau.
Aku pergi karena aku ingin kamu dapat memulai semuanya tanpa beban dan perasaan bersalah. Desa ini terlalu kecil, jarak antara rumah kita dapat aku ukur dengan jengkal. Jika aku memilih untuk tetap ada di sini, aku yakin kita hanya akan saling melukai.
Karena hanya dengan mendengar suaramu, membuat hatiku meledak-ledak. Bagaimana aku bisa bertahan dengan segala siksa itu di sepanjang sisa nafasku? Mampukah kau membayangkannya?
Aku mencintai kamu, Sulastri. Lebih daripada aku mencintai hidup aku sendiri, dan kamu tau itu. Aku menyayangimu dengan hati, karena itu sekarang dada ini terasa sesak dipenuhi harapan-harapan yang telah kalah dan menyerah.
Aku selalu mengingat kamu, Sulastri. Ketika aku berlindung di balik karung-karung goni untuk menghindari peluru-peluru tajam yang ditembakkan oleh tentara Jepang, yang ada di kepala aku hanyalah bagaimana kamu jika seandainya aku mati tertembak. Ketika lengan aku terserempet peluru saat tak sengaja berpapasan dengan mobil patroli mereka, wajahmulah yang pertama melintas di kepala. Saat aku kemudian berlari secepat kaki ini sanggup bergerak memasuki hutan, itu semua karena aku mengingatmu. Aku tidak ingin mati, Sulastri.
Walaupun kita aku berjuang sebagai serdadu dan engkau sebagai tenaga medis, tapi dari dulu cita-cita kita sama. Bisa mengucap janji suci sebagai sepasang pengantin yang merdeka seutuhnya. Kita sama sama tahu merah putih yang satukan cinta kita. Merah putih yang menyatukan hati kita.
Aku ingin tetap hidup untuk bisa kembali melihat kamu, mengecup kedua pipimu dan membelai rambutmu yang panjang. Aku ingin menepati janji yang dulu terucap bahwa aku akan pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Aku pulang, Sulastri. Mungkin memang terlambat dua tahun dari hari Soekarno dan Hatta membacakan Proklamasi, tapi aku pulang, aku kembali, aku tepati janji itu. Meski dengan kulit terbakar matahari dan bekas luka di sana-sini, aku jejakkan kembali kaki di desa kita untuk dapat bersua kembali denganmu.
Tidak ada yang perlu disesali, Sulastri. Demi arwah ayah, ibu, dan kakakku yang mati ditembak Belanda, sungguh tidak ada. Tidak saat kakiku berhenti ketika melihatmu sedang menjahit pakaian di beranda rumah. Tidak juga saat kaki ini terasa goyah ketika kamu berdiri dari mesin jahitmu, dan menatap aku dengan raut muka yang tak bisa aku terjemahkan apa artinya. Saat itu ingin sekali aku berlari untuk merengkuhmu, membayar lunas setiap rindu yang selama ini hanya bisa aku bisikkan kepada ribuan bintang yang menggoda kesepianku setiap malam. Tapi aku urungkan niat itu, karena ketika kamu berdiri aku melihat sesuatu yang membuat aku sadar kalau aku sudah kalah.
Tidak apa-apa, Sulastri. Siapalah aku sanggup menentang garis nasib yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Maaf jika teriakanmu hari itu tak aku hiraukan, karena kadang kata-kata memang tidaklah perlu jika mata sudah melihat sendiri. Dari cerita yang orang-orang bisikkan pada hari-hari berikutnya, aku tau kalau kamu sudah memilih, dan itu tak mengapa. Sungguh.
Jika teriakanmu memanggil nama aku pada hari itu bermaksud untuk meminta maaf, aku ingin kamu tau bahwa aku sudah memaafkan. Aku tidak marah, Sulastri. Seperti yang pernah aku ucapkan dahulu sebelum meninggalkan desa ini untuk berjuang; Apapun yang terjadi, aku mencintai kamu dan akan selalu begitu.
Sulastri kekasihku, aku akhiri surat ini dengan harapan agar langit akan selalu cerah di atas kepalamu. Aku pamit, semoga di pulau jauh di seberang sana aku bisa mengobati luka tak berdarah yang kini terasa begitu meresahkan hati. Sampaikan salam untuk janin di dalam perutmu, katakan padanya kalau kadang cinta memang tak selalu harus bersama.
Ini salahku, seharusnya aku ingat bahwa mencintai tak pernah bisa menunggu..
Peluk dan cium
Rajiman
______________________________________________________________________________________________________________________________
Ingin menjadi Penulis profesional dan bertemu langsung dengan editor penerbit beken? Baca disini
4 comments
“Lihat bebeknya terbang” 😀 lol
Wekwekwekwkek
wowww…. BRILIan…. (y)
kereeeen..