Air Mata Di Batas Senja

Yap! Sama seperti postinganku sebelumnya yang berjudul Lelaki Yang Memeluk Pagi, cerpen ini juga dipersembahkan oleh keisenganku memancing teman-teman di twitter buat urunan kalimat dan kemudian aku rangkai menjadi sebuah cerita baru.

Ini kalimatnya:

seharusnya kamu sadar, bahwa dengan adanya perpisahan, setiap helai hatimu menjadi lebih indah dari sebelumnya @vindanafilah

cinta tidak pernah membuatmu takut menunjukkan siapa dirimu sebenarnya @rizkamamalia

Daun yang gugur pun atas kehendak-Nya @indaahrs

Lalu seperti apa jadinya? Lets cekidot :

 

Di atas jutaan butir pasir lembut berwarna putih pucat itu, terekam ratusan jejak Laras. Larasati Kirana begitu orang tuanya menamainya. Rambutnya yang menawan terburai, terseok disapa angin laut senja. Matanya hitamnya sangat kontras dengan kulitnya yang berkilau serupa kapas. Laras berhenti melangkah, matanya terpaku pada sang surya yang terlihat semakin melemah di saat malam kan membunuh perlahan.

Kakinya gemetar, mungkin ia tak lagi sanggup untuk menahan semua beban yang serentak meluluhlantakkannya hari itu. Kepalanya mendongak mencoba menemukan sebuah wajah di tengah awan yang berarak. Sayangnya ia tak mampu menemukan wajah yang begitu ia cintai disana. Kawanan buih ombak takut-takut mulai menyapa kulit lembut kaki laras. Tapi gadis itu tetap tak beranjak. Air laut yang mengenai mata kakinya justru memancing deburan ombak yang lebih kencang di pelupuk matanya.

Laras menatap lekat cakrawala di ujung garis samudra. Dia begitu berharap Neptunus akan muncul dan menyapanya, mengobrol dengannya, dan membawa serta kesedihannya ke dalam palung lautan terdalam di jagat Raya.

“Wahaai cantik, apa yang memuatmu gundah gulana?” Neptunus tersenyum lembut menyapanya.

“Tidak apa. Aku hanya sedang kehilangan. Wajar kan kalo aku sedih?” Tanpa senyuman Laras menjawab.

“Nampaknya kau begitu mencintai apa yang hilang dari dirimu..” Neptunus menyimpulkan.

Tanpa ada komando, lagi-lagi awan hitam menjelma hujan deras di mata Laras dan bergegas meliuk-liuk di sepanjang pipi.

“Apa aku salah begitu mencintainya Nep? Ku serahkan hatiku semua untuknya, dan sekarang saat ia pergi aku begitu kehilangannya! “ Laras setengah menjerit tanpa peduli air mata menerobos ke rongga mulutnya.

“Laras, semua yang datang pasti memiliki saat dimana ia kan pergi.. Semua sudah tertulis di helaian-helaian takdirNya. Daun yang gugur pun atas kehendak-Nya , kau tau itu..” Neptunus memandang lekat-lekat wajah Laras.

“Apakah kau tau Nep, mengapa aku begitu mencintainya? Karena…Karena.. hanya saat bersamanya aku tak takut untuk menunjukan siapa diriku. Aku merasa bebas dari tuntutan orang-orang kepadaku. Aku menjadi diriku seutuhnya..” Lirih dan sedikit terbata Laras bicara.

“Ya, itulah cinta Laras.. cinta tidak pernah membuatmu takut menunjukkan siapa dirimu sebenarnya.. Jika mengatasnamakan cinta engkau berubah menjadi orang lain, itu dusta namanya. Tidak ada pengekangan dan pemaksaan dalam cinta. Engkau nyaman menunjukan siapa dirimu di depan cinta mu..” Tangan lembut Neptunus membelai rambut panjang Laras. Ah dia pasti cuma sampo, batin Neptunus.

“Tapi…Tapi mengapa harus ada pertemuan jika ditakdirkan ada perpisahan Nep! Sungguh tak adil rasanya, Cinta yang sudah terbangun dengan susah payah harus terempas begitu saja! Aku benci perpisahan…” Setengah memaki Laras menenggelamkan wajahnya di kedua tangkup telapaknya.

“Pertemuan dan perpisahan itu bagaikan siang dan malam Laras. Bagaikan matahari dan rembulan. Berpasangan tanpa harus saling membenci satu sama lainnya. Walaupun matahari digantikan rembulan, ia tak pernah membencinya. Perpisahan adalah sebuah awal pertemuan yang baru. Selalu seperti itu. Seharusnya kamu sadar, bahwa dengan adanya perpisahan, setiap helai hatimu menjadi lebih indah dari sebelumnya.” Neptunus tak menyerah untuk membangkitkan Laras dari keterpurukannya.

Laras mendongakan wajahnya, menyapu bersih semua sisa tangisannya dan berusaha keras mengukirkan senyuman terbaiknya. Ia sekarang sadar bahwa hanyalah kekonyolan jika ia terus terjebak dalam luka lama yang tak tentu kemana arahnya. Seperti kata neptunus, bahwa tiap perpisahan adalah awal dari pertemuan yang baru.

“Terima Kasih Nep.. Walaupun engkau hanya hidup di pikiranku.. Tapi karenamu sekarang aku bisa melangkah maju.”

Tangan mungil laras meraba-raba ke dalam tas merah jambu nya. Menarik sebuah foto yang sudah kumal diterpa entah berapa tetes air mata.

“Jojo, semoga sekarang kamu sudah tenang di Surga.. Siapapun nanti yang menggantikan posisimu di hatiku, selalu ada tempat untuk mu buatku. Maafkan aku kalo selama ini air mataku justru membuatmu tidak tenang meninggalkan dunia. Aku tak menyesali lagi kepergianmu..” Laras mengecup foto itu dan memasukan kembali ke dalam tas merah jambu nya. Ia kini bergegas mencari tambatan hati barunya. Mmm… Kali ini mungkin dari ras siam. Walaupun sebenarnya ras Jojo si kucing persia begitu indah dipandang mata.

CEO Inspirator Academy, penulis 6 buku, co-writer 17 buku artis, pengusaha, dan trainer.

Abu-Abu Dalam Selena dan Nebula Karya Tere Liye

Nyaris saya melewatkan tenggat waktu untuk meresensi Selena dan Nebula. Utang saya kepada Bang Tere Liye lah yang akhirnya menggerakkan saya untuk menulis ini di detik terakhir. Ya, saya berutang banyak kepada Bang Tere Liye…

Review Buku Orang – Orang Biasa – Andrea Hirata

Saya termasuk pembaca yang beruntung. Apa sebab? Saya mendapatkan novel bertanda tangan beliau langsung di Bangka Belitung.  Kamu bisa bayangkan sensasinya kan? Membaca karya penulis panutan di Bumi tempat dia melahirkan aksara aksara magisnya? Dan……

Diary Penulis Biografi –Klien Pertama Untuk Ghostwriter Pemula

Diary Penulis Biografi –Klien Pertama Untuk Ghostwriter Pemula Selamat malam writers! Ada yang unik minggu ini. Tak ada angin dan tak ada hujan, ada dua gadis mengontak saya untuk berdiskusi 1 pertanyaan yang sama. Satu…

Diari Penulis Biografi – Wujud Paling Tinggi Dari Cinta

Dalam tulisan saya DI SINI , saya pernah menuliskan bahwa hal yang paling saya syukuri dari menjadi co/ghost writer / penulis biografi adalah bisa bertemu sekaligus berinteraksi dengan banyak orang berilmu. Bisa face to face empat…

Dilan 1990 . Menulis Cerpen Atau Novel Based On True Story? Ini Resikonya!

Foto diambil dari sini Ketika membaca ini, apakah kamu termasuk salah satu dari 4.000.000 penonton yang sampai hari ini sudah menonto Film Dilan 1990? Atau baca novelnya? Sampai sekarang baik novel dan filmnya masih laris…

3 comments

    serupa dengan pengalamanku kemarin sore kala pertama kali menjejakkan kaki di kota Makassar yang ternyata begitu indah pesonanya tak kalah dengan Bitung yang baru saja aku jelajahi di hari-hari sebelumnya.

    kala menatap indahnya sang surya yang tengah tenggelam, memancarkan aura cahaya merahnya yang hangat dan penuh kelembutan, diiringi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang penuh makna dari masjid di seberang yang berdiri kokoh di tepi pantai…maka tak ada lagi yang dapat terucapkan selain bergumam, duh Tuhan, maka nikmat yang mana lagikah yang pantas untuk aku dustakan.

    awan yang indah yang terbentuk sore itu membuat lamunanku tuk melayang jauh ke rumah, membayangkan sang kekasih hati dan belahan jiwa yang tengah mempersiapkan waktu tuk berbuka…dan sekali lagi niikmat-Nya terlalu besar untuk didustakan, jika dibandingkan dengan banyaknya kesulitan hidup yang pernah dihadapi, maka nikmat dari Tuhan tak akan pernah bisa tuk diperbandingkan.

    karena sekiranya ranting-ranting pohon di muka bumi ini dijadikan penanya dan lautan yang ada dijadikan tintanya, bahkan hingga ditambahkan sebanyak 7 kalinya, maka tak akan pernah bisa untuk menuliskan besarnya dan banyaknya nikmat yang telah Tuhan berikan.

    tulisannya jadi nyambung di sini dah….hehehe, maafkan jika jadi panjang, webmu jadi salah satu yang selalu aku rindukan mas, karena kadang sering membuat hati kian terenyuh, tersadarkan diri akan nilai diri yang masih jauh dari upaya tuk mengejar cinta dari-Nya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *